Jauh di pedalaman suatu daerah berbukit di Ethiopia Tengah sebelah
selatan, tinggallah beberapa juta orang petani kopi yang -- meskipun
terbagi dalam suku-suku bangsa yang sangat berbeda -- mempunyai
kepercayaan bersama kepada suatu eksistensi (keberadaan) yang penuh
kebaikan bernama Magano -- Pencipta segala yang ada dan yang hadir
di mana-mana. Salah satu dari suku-suku bangsa itu disebut dengan
Darassa, atau lebih tepat lagi, suku Gedeo. Sekalipun jumlah suku
Gedeo ada setengah juta namun hanya sedikit yang benar-benar berdoa
kepada Magano. Malahan, seorang pengamat melihat orang-orang Gedeo
lebih aktif berusaha menyenangkan hati suatu eksistensi yang jahat
yang disebut Sheit'an.
Pada suatu hari Albert Brant bertanya kepada sekumpulan orang Gedeo,
"Kalian sangat menghormati Magano, tetapi mengapa kalian
mempersembahkan kurban kepada Sheit'an itu?" Inilah jawaban yang
diterimanya: "Kami mempersembahkan kurban-kurban kepada Sheit'an
bukan karena kami mencintainya, tetapi karena hubungan kami dengan
Magano tidak begitu akrab, sehingga kami tak berani melepaskan diri
dari Sheit'an!"
Namun ada satu orang Gedeo yang berusaha mendapat jawaban pribadi
dari Magano. Nama orang itu adalah Warrasa Wange. Ia adalah anggota
"keluarga raja" suku bangsa Gedeo yang tinggal di sebuah kota
bernama Dilla yang terletak di daerah yang paling ujung dari tanah
suku Gedeo. Cara pendekatannya kepada Magano adalah dengan menaikkan
doa sederhana supaya Magano berkenan menyatakan diri-Nya kepada suku
Gedeo!
Warrasa Wange dengan cepat mendapat jawaban. Penglihatan-penglihatan
yang mengejutkan menguasai seluruh pikirannya secara dahsyat.
Dilihatnya dua orang asing berkulit putih. (Catatan: Namun ada kaum
"Caucasophobes" -- yaitu orang-orang yang membenci atau takut kepada
"orang-orang putih" yang biasanya disebut orang Caucasian -- tidak
setuju dengan keterangan Warrasa, tapi sejarah pastilah tidak dapat
menyangkal kenyataan ini.)
Warrasa melihat kedua orang putih itu mendirikan tempat berlindung
yang tipis dan halus di bawah naungan pohon sycamore yang besar
dekat Dilla, kampung halaman Warrasa. Tak lama kemudian mereka
menegakkan bangunan-bangunan yang lebih permanen dengan atap yang
berkilau-kilauan. Akhirnya bangunan-bangunan itu nampak di mana-
mana, di seluruh bukit itu! Seumur hidupnya belum pernah si pemimmpi
itu melihat bangunan-bangunan yang mirip sedikit pun dengan tempat
berlindung yang tipis itu, maupun bangunan permanen yang atapnya
berkilauan itu. Semua tempat tinggal di Tanah Gedeo beratapkan
rumput. Kemudian Warrasa mendengar suara yang mengatakan, "Orang-
orang ini akan menyampaikan kepadamu pesan dari Magano, Allah yang
kau cari itu. Tunggulah kedatangan mereka."
Pada bagian terakhir dari penglihatannya itu, Warrasa melihat
dirinya mengangkat tiang-tengah dari rumahnya sendiri. Dalam
simbolisme Gedeo, tiang-tengah rumah orang berarti hidupnya sendiri.
Kemudian dibawanya tiang itu ke luar kota dan ditanamkannya di tanah
di samping salah satu bangunan beratap kemilau milik orang-orang
asing.
Warrasa mengerti maknanya -- kelak hidupnya harus mempunyai hubungan
dengan orang-orang asing itu, dan dengan pesan yang mereka bawa dari
Magano. Maka menunggulah Warrasa. Delapan tahun berlalu. Selama
delapan tahun itu, banyak ahli nujum di antara suku bangsa Gedeo
yang meramalkan bahwa tak lama lagi akan datang orang-orang asing
membawa pesan dari Magano.
Pada suatu hari yang sangat panas pada bulan Desember 1948, Albert
Brant, seorang Kanada bermata biru, bersama rekannya Glen Cain, tiba-
tiba tampak di garis langit, mengendarai sebuah truk yang sudah tua.
Tugas mereka -- memulai pelayanan Injil bagi kemuliaan Allah di
antara suku Gedeo. Padahal sebenarnya mereka berharap mendapat izin
dari pembesar-pembesar Ethiopia untuk memulai misi di pusat wilayah
Gedeo, tetapi para pembesar Ethiopia mengatakan kepada mereka bahwa
permohonan itu pasti ditolak karena iklim politik saat itu.
"Mintalah saja supaya diizinkan pergi ke Dilla, kota yang paling
jauh dari pusat kota," nasihat orang-orang itu sambil mengedipkan
mata. "Kota itu jauh sekali dari pusat wilayah suku Gedeo. Tapi
bukan hanya itu saja, orang-orang percaya bahwa suku Gedeo yang
tinggal jauh terpencil itu juga tidak mungkin bisa dipengaruhi."
"Nah, kita sudah sampai," kata Brant kepada Cain. "Memang, ini
tempat yang paling ujung dari wilayah Gedeo, tetapi kita harus puas
dengan ini."
Sambil bernafas panjang, dibelokkannya truknya yang tua itu ke arah
Dilla. Glen Cain menghapus keringatnya dari dahinya. "Wah, kota ini
sungguh panas, Albert," katanya. "Mudah-mudahan kita dapat menemukan
tempat yang teduh untuk tenda-tenda kita!"
"Coba, lihat pohon sycamore besar di sana itu!" jawaban Albert.
"Tepat seperti yang kuinginkan!"
Brant mulai menjalankan truknya menaiki lereng bukit. Dari kejauhan
Warrasa mendengar bunyi mesin mobil yang bising itu. Dia menengok ke
arahnya dan tepat pada saat itu truk yang tua tadi berhenti di bawah
cabang-cabang pohon sycamore yang terbentang luas. Dengan perlahan-
lahan Warrasa berjalan mendekati truk itu, dan hatinya bertanya-
tanya...
Tiga puluh tahun kemudian, Warrasa (yang sekarang dengan penuh
sukacita sudah menjadi pengikut Yesus Kristus, Putra Magano) bersama
dengan Albert Brant dan orang-orang lainnya adalah anggota gereja-
gereja yang jumlahnya lebih dari 200 orang masing-masing! Dengan
bantuan Warrasa dan penduduk Dilla lainnya, hampir seluruh suku
Gedeo telah dijamah oleh Injil -- walaupun Dilla letaknya sangat
jauh dan terpencil dan orang-orangnya sulit dipengaruhi, kuasa Tuhan
sanggup menjamahnya!
Diambil dan dikutip dari:
Judul Buku : Kerinduan akan Allah yang Sejati
(Eternity in Their Hearts)
Judul Artikel: Suku Gedeo di Ethiopia
Penulis : Don Richardson
Penerbit : Kalam Hidup, Bandung, 1981
Halaman : 89 - 92