Langit rasanya runtuh menimpa saya saat peristiwa
itu. Bukan saya saja yang terpukul, tapi anak-anak saya juga. Mereka
yang dulunya periang menjadi pemurung, hampir tiap hari saya dipanggil
ke sekolah, menangani dampak dari kesedihan mereka yang dalam.
Perekonomian keluarga yang sudah sangat sulit menjadi
ambruk sama sekali. Sementara anak-anak harus tetap sekolah dan makan.
Berbagai usaha saya lakukan, yang penting halal, walaupun ada perasaan
sedih dan malu karena memikul nama suami saya. Tapi saya tutup telinga
karena bagaimanapun saya tetap harus menghidupi ketujuh anak saya.
Walaupun harus berhemat luar biasa sehingga beberapa tahun kami harus
bergelap-gelapan karena saat malam kami mengandalkan lilin. Itu karena
kami tidak mampu membayar listrik.
Kesedihan saya yang terbesar karena ketakutan saya
akan masa depan anak-anak saya. Pergaulan dan teman-teman saya banyak
yang mengalami kehancuran rumah tangga seperti ini, dan semua
anak-anaknya menjadi hancur menyedihkan. Sedih sekali, jangan sampai hal
itu juga terjadi pada anak-anak saya.
Tapi saya tahu, saya tidak boleh terus bersedih dan
merenungkan nasib saya. Karena kalau saya goyah, bagaimana anak-anak
saya bisa bertahan. Untuk itu, saya harus menunjukan bahwa saya kuat,
agar mereka bisa bertahan.
Pada saat-saat tertentu, seperti saat bermain, mereka
bisa langsung berhenti bermain dan berlari mencari saya, menangis
dengan sedihnya menyatakan betapa ia merindukan papinya. Saat makan
bersama, anak saya bisa mendadak berhenti dan menangis dengan sedihnya,
"Aduh Mama ... aduh ... tolong aku ... aku rindu ... aku rindu sekali
dengan Papi ... bagaimana Mama...?!" Sebagai seorang ibu, apa yang harus
saya lakukan menghadapi hal seperti itu?
Dalam kepedihan seperti itu, saya membawa anak-anak
mengenal Tuhan. Hasilnya sekitar satu tahun kemudian, anak saya yang
paling tua sering mengajak saudara-saudaranya bergandengan tangan,
menyanyikan pujian penyembahan, dan berdoa. Saat mereka berdoa, saya
menjadi begitu terharu, bangga, dan bahagia. "Tuhan kami mengampuni Papi
kami karena ia tidak tahu apa yang diperbuatnya. Ampunilah juga
perempuan yang mengambil Papi, berilah suami yang baik untuknya dan
kembalikan Papi kami."
Sebelas Tahun Kemudian
Satu saat telepon berbunyi, ternyata telepon dari
Robby. Robby selalu memanggil saya Etha. Robby mengatakan hal ini kepada
saya, "Halo Etha, ini aku. Etha, aku mau pulang dan kembali ke rumah.
Kamu bersabar yah, aku mau menyelesaikan semua masalah di sini. Aku
pasti akan kembali padamu dan anak-anak!" Setelah suami saya Robby
berbicara seperti itu, suatu perasaan sayang, perasaan cinta sepertinya
mulai timbul dan saya rasakan kembali.
Satu tahun lewat, dua tahun lewat, tiga tahun lewat.
Tapi ayahnya belum juga pulang sesuai janjinya. Anak saya yang pertama
selalu membeli hadiah untuk kado ulang tahun papinya, menyiapkannya
untuk papinya saat ia pulang. Dan ia tidak mau membuka kado-kado itu,
meskipun papinya tidak kunjung pulang.
Priscila, putri saya menyatakan kerinduannya akan
ayahnya, mewakili saudaranya, "Kami bertemu Papi hanya pada waktu Natal
lalu saja, itu pun tidak bisa setiap tahun. Di saat itu, kami baru bisa
melepas rasa kangen dan rindu. Kami benar-benar gunakan waktu untuk
jalan bareng dan bercanda dengan Papi. Tapi, hanya di saat itu saja kami
memunyai waktu dengan Papi."
Petronela, putri sulung Robby sungguh merindukan kehadiran ayahnya.
"Begitu bertemu Papi semua perasaan sakit di dada
rasanya langsung hilang begitu saja. Tapi begitu Papi mau pergi lagi,
aku memeluk Papi, rasanya sayang untuk melepas Papi pergi lagi.
Kerinduanku akan Papi besar sekali. Kalau aku merasa kurang puas, aku
biasanya akan tulis di diari atau di bukuku. Aku akan tulis: 'Papi, aku
kangen banget sama Papi. Kok Papi nggak merasa apa yang aku rasain sih?
Aku sungguh kangen Papi!'. Aku selalu menulis tulisan itu berulang-ulang
dengan kata-kata yang sama."
Suatu hari pada bulan Januari 1998, Robby berjanji
untuk kembali ke rumah pada tanggal sekian. Anak-anak menanti ayah
mereka kembali ke rumah hingga jauh malam. Di saat dini hari menjelang,
doa-doa Bertha beserta anak-anaknya selama empat belas tahun akhirnya
berbuah; jawaban Tuhan pun datang. Jam dua pagi ada ketukan di pintu.
Anak-anak membuka dan ternyata Robby kembali .... Anak-anak bersuka cita
sekali. Mereka memeluk papi mereka, saya sendiri terharu melihatnya.
Petronela: "Kita semua menangis, semua sakit di dada terlepas, Tuhan angkat."
Priscila: "Saya tidak bisa ngomong apa-apa lagi, yang ada cuma tangis!"
Tuhan memulihkan hati saya dan hati Robby. Luar biasa
...! Hubungan kami lebih daripada masa pacaran. Saat ini saya merasakan
satu kebahagiaan yang luar biasa. Kami tahu bahwa Tuhanlah yang
memberikan kebahagiaan dan sukacita yang kami alami saat ini. Tidak ada
yang mustahil bagi Tuhan, suami saya yang rasanya sudah mustahil untuk
kembali, empat belas tahun kemudian bisa pulang lagi. Terus berdoa
dengan sungguh dan berharap pada Tuhan Yesus; asal kita percaya dan
bertekun, semua mungkin terjadi.
Sumber: http://kesaksian.sabda.org/penantian_yang_panjang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar